Jelajah Sejarah: dari Bab Wazir hingga Bab Zuwayla
Bu Respati dengan latar belakang kubah Masjid Sultan Muayyad Syekh |
Udara pagi di sekitar taman Azbakiyah
dekat Metro Atabah begitu sejuk. Beberapa bunga mulai bermekaran berwarna-warni
menyambut si cantik musim semi. Kicauan burung gereja merdu menghiasi atmosfir
taman, si Jantan memamerkan suara merdunya dan sang betina tergoda menjingkrak
malu. Namun semua pemandangan itu tidak ada artinya bagi mereka yang dibius
pola pagi yang membosankan, bekerja, berdagang dan pergi sekolah. Semua tenggelam
dalam rutinitasnya. Berlomba mencari yang tecepat menuju tempat sumber asa.
Waktu menunjukan 07.30 saat aku ada
di peron Metro Atabah diantara kerumunan penumpang menunggu kereta jurusan
Sub-Giza. Metro merupakan sarana tranpostasi massa berupa kereta bawa tanah
yang mengintegrasi semua wilayah ibukota Kairo. Hanya dengan 1 Le (baca: pound=
Rp. 1500) kita bisa pergi kemanapun dari ujung kota ke kota lainnya. Pagi ini
aku punya janji dengan salah seorang pakar ekonomi KBRI, Bu Respati namnya. Bukan
untuk berkonsultasi soal ekonomi yang semakin pelik seperti saat ini. Tapi kami
berencana melakukan backpacker menjelajahi eksotisme kemegahan
arsitektur Islam kota Kairo lama. Jujur saya sendiri belum pernah bertemu dengan
beliau. Saya tahu gaung namanya dari teman-teman PAKEIS (Kelompok Kajian
Ekonomi Islam), karena beliau salah satu Pembina disana. Dan hari ini saya
mendapatkan tugas dari Mas Saiful mitra Travel Guide Luxor Tour untuk
menemaninya menyusuri jalanan Kairo.
Kereta yang ditunggu datang. Aku pun
segera masuk berdesakan beradu siku mencari tempat. Karena sekarang jam kerja
jangan heran bila semua gerbong penuh. Kami berencana bertemu di pemberhentian
Metro Buhuts tepat jam 08.00. Tiga puluh menit kemudian kusampai di peron
Buhuts dan naik ke jalan utama. Jalanan yang begitu asing bagiku. Tapi yang
jelas kawasan ini lebih rapih dan bersih dibanding tempat tinggalku sekarang di
Darb al-Ahmar. Telpon genggam ditangganku bordering dan kuangkat. "Miftah
sudah sampai mana?" Tanya seorang perempuan di seberang sana. "Saya
sudah sampai di Metro Bu." Jawabku."Oke, saya segera kesana, saya
siap-siap dulu."singkatnya sambil mengakhiri percakapan.
Lima menit kemudian Bu respati datang
dengan Taksi. Walaupun aku belum pernah bertemu sekalipun, tapi aku tahu itu
adalah beliau. Karena di tempat itu orang berwajah Asia hanya aku dan perempuan
berjilbab yang baru keluar dari taksi. "Itu pasti Bu Respati",
tebakku dalam hati. Ternyata benar itu beliau. Setelah mengucapkan salam dan
perkenalan. Kamipun mencari Taksi dan menuju kawasan Hay Khalifa, tempat
awal penjelajahan kami dimulai.
Setelah melewati sungai Nil, kawasan
Downtown yang disebut sebagai Paris du Caire, lalu disambung melewati
Abdein Palace, sebuah istana yang dibangun Khedive Ismail Pasha bergaya Renaisance,
tujuan kita semakin dekat. Hingga sampailah di komplek masjid kembar, Masjid
Sultan Hasan dan Imam Rifa'I, pertanda kami sudah memasuki Hay Khalifa. Dari
sini mobil melaju kea rah alun-alun Sayyidah Aisyah melewati kokohnya Benteng
Shalahudin yang bermahkotakan Masjid ala Utsmaniyah, Muhammad Ali Pasha. Begitu
megah dan artistik dengan empat menaranya yang menjulang tinggi. Masjid ini
selalu menghipnotisku setiap kali melewati kawasan ini. Akhirnya taksi berhenti
tepat di pertigaan masjid Qaitbay yang sedikit terlihat seperti masjid tenggelam.
Dari situ, kami menyeberang menuju Gerbang pemakaman Qarafa Kubra mengunjugi
makam seorang Ulama Agung, Imam Jalaludin al-Suyuthi. Bagi akademisi pesantren
tentunya nama beliau tak asing di telinga. Sebut saja karya monumental beliau
seperti Tafsir Jalalain, yang dikaji setiap pagi di pondok pesantren di
Nusantara. Selain itu ada al-Asybah wa al-Nadza'ir dalam Ushul Fiqh dan
Nahwu, Tarikh al-Khulafa dan puluhan karya lainnya di berbagai disiplin
ilmu.
Untuk sampai ke makam sang Imam,
setelah menyebrang kami masuk gang yang terletak di kiri masjid utsmani, Nuruddin
atau yang lebih dikenal Masjid al-Sibah. Dari sini terlihat dua menara tinggi
menjulang bernama Minaret Sultaniya sebagai pintu gerbang pemakaman
Qarafa. Makam sang Imam terletak di antara kedua menara dan berada tepat di
depan Khanqah1 Sultaniya.
Tepat di depan makam sang Imam, aku
memetik beberapa daun pohon Kurma dan Bunga Kemangi, lalu kutaruh di depan
makam sang Imam. Ini kulakukan sebagai rasa hormat atas sumbangsihnya yang
beasr dalam dunia intelektual Islam. Karena Rasulullah. Saw pernah melakukan
hal serupa. Ketika dalam perjalanan dan melihat ada sebuah kuburan, lalu Beliau
mengambil memetik pelepah Kurma dan ditaruh diatasnya. Saat ditanya Sahabat
yang melihat, Rasululah menjawab bahwa pelepah itu akan mendoakan si mayit
selama sampai ia mengering.
Setelah memberi karangan bunga
seadanya dan berdoa. Sayapun menceritakan karya dan sumbangsihnya dalam Islam,
Karamahnya dan sedikit kisah hidup Imam Suyuthi yang penuh cobaan. Walaupun
beliau ulama besar, banyak ulama sezaman yang menjadi penjilat Khalifah saat
itu membeci beliau. Tak hanya maki dan cacian yang belaiu dapat. Kekerasan
fisik kerap kali menimpa Ulama Arif ini. Namun beliau tak pernah sekali-kali
membalas walau dengan satu kalimat. Imam Suyuthi malah mendoakan mereka.
Bu Respati semakin antuasian
mendengar perjalanan hidup sang Imam. Lalu kami beralih topik tentang suasana
Kairo zaman sang Imam. Beliau menanyakan gambaran sebenarnya benteng kota Kairo
dahulu kala. Untuk mempermudah penjelasan, kugambar sketsa benteng kota Kairo
lama dari masa ke masa di atas pasir. Bahwa dulu benteng kota Kairo dibangun pertama
kali oleh Jendral Jauhar as-Shiqily dengan menggunakan batu bata. Selanjutnya
diperbaharui oleh panglima Badruddin al-Gamali dengan menggunakan bebatuan
gunung Mukattam untuk memperkuat pertahanan kota yang kala itu sering mendapat
serangan. Hingga datang masa Shalahuddin al-Ayyubi saat perang Salib
berkecamuk. Lalu sang Jenderal membangun benteng yang lebih kuat dan memasukan
kawasan timur sungai Nil ke dalam wilayah kota. Saat itu tak ada yang bisa
masuk Kairo kecuali melewati pintu yang dijaga ketat, Seperti Bab Nasr, Futuh
dan Zuwayla. Semua bagian benteng yang tersisa saat ini merupakan peninggalan
Shalahudin al-Ayyubi. Puas dengan areal Qarrafa kami melanjutkan perjalanan ke
Masjid kembar, Sultan Hasan dan Imam Rifa'I,
Sepanjang perjalanan kami ditemani
kemegahan benteng Shalahudin yang masuk kawasan Qal'ah2.
Sepanjang jalan kami berdialog mengenai perjuangan Shalahudin dan gagap gempita
Perang Salib kala itu. Tak lupa sejarah Masjid Muhammad Ali Pasha yang
bertengger di puncak Qal'ah kami kupas habis.
Masjid Qanibay dalam pecahan uang 200 Le |
Sampai di Medan Romel,
alun-alaun Hay khalifa kami berhenti sejenak menikmati pemandangan
menakjubkan tepat di depan kami. Alun-alun dihadapan kami dikelilingi 6 masjid
yang salaing berdekatan. Sebut saja Masjid Muhammad Ali yang kokoh berdiri di
puncak anak Jabal Mukattam. Ada masjid Mahmudiyah dengan menara pensil ala
arsitekture Utsmani. Tepat di belakang Mahmudiyah, ada sebuah masjid dari
dinasti Mamalik yang cantik penuh ornament bernama Masjid Qanibay al-Akhur.
Gambar masjid ini ada dalam mata uang Mesir dengan nominal yang tertinggi yaitu
200 Le. Penempatan gambar masjid Qanibay dalam nominal terbesar Pound Mesir
masih menjadi misteri sampai saat ini. Bahkan Masjid Azhar yang perannya
mendunia saja hanya ditempatkan pada lembaran 50 Piester atau 0,5 Le. Lah ini
masjid kecil yang hanya tersisa separu dipajang manis di lembaran 200. Di
belakang Qanibay ada masjid dari Era yang sama dengan mozaik Ablaq3
yang masih asli disebut Masjid Jawahar al-La'la. Sedangkan 2 masjid terakhir
yang bikin mulut melongo karena ukurannya yang fantastik adalah si kembar
Sulatan Hasan dan Imam Rifa'i. Bahkan karena ukuran kubah Sultan hasan yang
super jumbo, para pelancong barat menyebutnya sebagai Islamic pyramid.
Masjid Al-Azhar dalam pecahan 50 Piester |
Tak mau berlama-lama terpaku akan
eksotisme semua masjid ini. Kami segera menyambangi yang terdekat yaitu si
kembar. Setelah membayar tiket masuk dan melewati pos pemeriksaan, kami
melewati jalan yang terletak di antara dua masjid tersebut. Lagi-lagi kemegahan
keduanya membuat kami berdecak kagum. Bagaimana bisa dengan teknologi di masa
Sultan Hasan yang belum mengenal konstruksi, bisa membangun sebuah mahakarya
setinggi gedung berlantai 5 masa kini. Kami bergerak ke sebelah kiri menaiki tangga
menuju Masjid Sultan Hasan. Memasuki masjid ini serasa hidup di Negeri Dongeng,
dengan menjelajahi kemegahan istana sultan Era Mamalik. Lalu kami memasuki
sebuah lorong yang megah di lengkapi sistem ventilasi canggih yang mampu
mengunci udara sejuk di dalam masjid saat udara luar panas membakar di Shaif4. Lorong ini akhirnya membawa kita menuju Shan5
yang tengahnya terdapat tempat wudhu berkubah. Dalam masjid terdapat empat Iwan
yang terilhami dari kemegahan istana Raja Persia, Kisra. Selain itu masjid yang
dibangun Sultan Hasan ini memiliki 4 madrasah dari 4 Imam besar Fiqih, seperti;
Malikiyah, Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah. Sehingga masjid ini sering
disebut masjid 4 Madzhab. Setelah puas berbincang profil Sultan Hasan, kami
segera menuju ke Masjid Imam Rifa'i.
Walaupun sering disebut Masjid
Kembar, sebenarnya keduanya dibangun pada masa yang berbeda berselang 3 abad.
Menaiki tangga di pintu masuk Masjid Imam Rifa'I, kami terpaku dengan
langit-langit perpaduan arsitektur Islam dan Eropa bersepuh emas dan berpadu
warna biru. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Khedive Ismail Pasha. Rencana
pembangunannya diprakarsai Khusyeir Hanim, ibunda Ismail Pasha yang saat itu
penganut Tarekat Rifa'iyah. Baik Khuseir Hanim dan Ismail Pasha, keduanya
dimakamkan dalam masjid ini. Selain makam keduanya, ada makam Imam Rifai'I,
makam keluarga Ismail Pasha dan pusara Syah penguasa Iran terakhir.
Puas menikmati kedua masjid dan
menunaikan shalat Zuhur, kami mampir sebentar ke Mahmudiyah. Sebelum
melanjutkan perjalanan menyusuri jalan Bab Wazir menuju Bab Zuwayla, kami beristirahat
sebentar di Maqha menikmati secangkir teh. Disitu kami bertukar pikiran tentang
sejarah yang jamak orang ketahui. Dari sini saya tahu konsep dan ide keren
beliau.
Masjid kembar, dari kiri-kanan: Masjid Sultan hasan dan Imam Rifa'i |
Oya dalam perjalanan selanjutnya akan
ada banyak sekali masjid yang ditemui sepanjang jalan Bab Wazir. InsyaAllah
akan dibahas dalam sub judul khusus terpisah biar lebih focus. Semisal kami
mengunjungi reruntuhan Istana di luar Benteng Shalahudin yang menjadi tempat
pembuangan sampah. Lalu ada Ribat Azdumur, Makam Tarabay as-Sharify, jalan
sedikit ada masjid Mamalik di pertigaan bernama Aytmish al-Bagasi. Lalu kami
juga melewati Bekas Istana Alin Aq yang sangat menawar berdampingan dengan Masjid
Khayir Bek dan Masjid Biru, Aqsunqur.
Masjid Mahmudiyah dengan Masjid Qanibay di belakangnya |
Perjalanan berlanjut menuju komplek
Masjid dan Madrasa Ummu Sultan Sya'ban bersebelahan dengan Bait al-Razzaz. Semakin
mendekati Bab Zuwayla, kami disambut masjid cantik nan rindang al-Maridani di
sebelah kiri. Berjalan menuju awal jalan Darb al-Ahmar kami menemukan masjid
kecil al-mihmandar yang memiliki ukiran bagian depan yang artistik. Sayangnya
masjid kecil nan menawan ini tak cukup terawat. Mendekati Bab Zuwayla di pertemuan
jalan Bab Wazir dan Darb al-Ahmar, tepat ditengahnya terdapat Masjid megah
Qijmas al-Ishaqi.
Akhirnya kami sampai di depan Bab
Zuwayla dengan menara kembarnya. Tepat di depannya terdapat masjid Fatimiyah,
shalih Thala'i. Ada juga sebuah tempat bermeditasi mungil yang penuh ukiran,
Zawiyah Sultan Barquq. Memasuki Gerbang Zuwayla, rasanya seperti menarik zaman
jauh kebelakang, di zaman keemasan Mamalik. Setelah membayar tiket, kami
menaiki tangga menuju atap gerbang. Setelah sampai di atas, waw!!! Mata kami di
sihir dengan pemandangan kota Kairo yang sangat antik. Puluhan menara menghiasi
ufuk kota Kairo di antara bangunan modern kotak-kotak coklat yang dihiasi
tumpukan sampah. Yang jelas pemandangan ini tak bakal anda jumpai jika
bertandang ke Eropa atau Amerika, pemandangan ini akan menjadi momen yang tak
terlupakan. Karena belum shalat Ashar, kami segera turun menuju Masjid Sultan
Muayyad Syekh yang menempel tepat di samping Bab Zuwayla.
Bab Zuwayla dengan dua menara kembarnya yang menjulang tinggi |
Selesai Asar kami segera mengunjungi Sabil6
Tusun Pasha. Sabil ini dibagun oleh Muhammad Ali Pasha untuk mengenang
anak kesayangannya Tusun Pasha. Petugas musium yang kami temui bernama Ahmad, ternyata
dia lulusan prodi Tarikh wal Khadharah Fakultas Bahasa Arab tempat
dimana saya kulian saat ini. Ia ditempatkan oleh kementrian purbakala dan
bertugas sebagai pemandu bagi turis yang datang. Ahmad cukup ramah dibandingkan
petugas museum yang sering saya temui. Apalagi setelah tahu saya kuliah di
tempat yang menempa namanya, Ahmad segera membuatkan teh untuk Bu Respati dan
Saya. Obrolan kami berlangsung cukup lama dan mengalir. Karena sejarah dan
peradaban adalah latar belakannya, Ahmad mampu menjelaskan dengan detail setiap
bagian museum. Bahkan menunjukan kami makam salah satu anak Nabi Nuh. As. Namun
setelah kami periksa kami tak menemukan bangunan yang dimaksud. Ternyata sabil
ini mempunyai tendon air bawah tanah yang cukup besar. Serta terintegrasi
dengan pipa marmer bawah tanah langsung ke sungai Nil. Tak terasa obrolan kami
berlangsung seru hingga senja mulai membalut kelelahan Kairo. Setelah
berrterima kasih atas jamuannya, kami berpamitan untuk menlanjutkan perjalanan
menuju komplek Sultan al-Ghuri.
Sepanjang jalan kami ditawari aneka
produk kelontong, mulai dari baju siap pakai, jas, selimut, sepatu dan beberapa
pakaian pribadi wanita. Adzan maghrib berkumandang, kami segera mencari masjid
dan al-Ghuri menjadi pilihan kami. Sama seperti masjid Mamalik lainnya yang
selalu memiliki ukiran muqarnas7 di atas pintunya. Untuk
menuju tempat salat kami melewati sebuah lorong, begitu sampai kami disambut
dengan iwan yang anggun dengan ukiran kaligrafi terbuat dari kayu Aras
yang dilapisi emas. Menakjubkan!
Setelah menunaikan shalat, kami
berdiskusi sedikit sejarah komplek Sultan al-Ghuri dan sepak terjang sang
sultan. Al-Ghuri merupakan sultan yang sangat mencintai seni dan arsitektur.
Terlihat dari semua bangunan di zamannya yang penuh pahatan memukau. Masjid ini
merupakan akhir dari petualangan kami kali ini. Setelah berterima kasih, Bu
Respati meminta izin untuk pamit. Aku antar beliau hingga ke jalan al-Azhar dan
mendapatkan taksi. Sebelum berpisah beliau memberikan sesuatu, lalu aku
berterima kasih dan melambaikan tangan hingga taksinya hilang dalam keramaian
pasar Azhar.
Terima kasih, untuk perjalanan yang
mengesankan J
Catatan Kaki:
1. Khanqah: merupakan bangunan tempat beribadah
dan berkontemplasi kaum sufi. Dilengkapi dengan kamar tempat tinggal, sanitasi,
fasilitas kesehatan dan makanan. Setiap Sultan yang berkuasa biasanya membangun
sebuah Khanqah untuk menghormati kaum Sufi. Sehingga di kairo jumlah khanqah terbilang
banyak.
2. Qal'ah: dalam bahasa arab yang berarti
benteng. Sebagai contoh benteng Shalahudin yang terletak di anak jabal
Mukattam.
3. Ablaq: Merupakan seni
mengkombinasikan bebatuan sehingga membentuk sebuah mozaik. Biasanya perpaduan
antara marmer hitam dan putih, atau dengan biru, merah dan hijau zamrud yang
sangat langka dan mahal.
4. Shaif: Musim Panas, biasanya mencapai
lebih dari 400. Bahkan panasnya masih berlangsung hingga jam 23.00
di kota Kairo.
5. Shan: Halaman tengah masjid yang tidak
beratap.
6. Sabil: Bangunan yang berfungsi sebagai
tempat minum umum. Tak hanya untuk manusia, hewan seperti kuda, anjing, kucing
bahkan merpati mempunyai bagian khusus di tempat ini.
7. Muqarnas: seni ukir dan pahatan berbentuk rumah
lebah, biasanya terletak di atas pintu masuk.
Komentar
Posting Komentar