Ku Temukan Tuhan di Puncak Sinai
Puncak Gunung Musa terlihat kuning keemasan saat terkena matahari pagi |
Jreeng..
Jreeng..! Suara ringtone alunan gitar berpadu bass keras memecah
keheningan malam, “Ah.. Brisik sekali, Suara HP siapa itu tengah malam begini?”
pikirku mengeluh. Ternyata ringtone alarm dari Nokia Ashaku sendiri yang
sejak tadi berdering, kulihat jam di layar ponsel menunjukan pukul 04.00 pagi.
“Astaghfirullah kesiangan..!” gumamku, segera kuberanjak dan membangunkan teman-teman
sekamar.
Melihat
sekeliling kamar, rasanya tak tampak sebuah kamar mahasiswa, tapi lebih mirip
sebuah gudang, banyak tumpukan Styrofoam, botol air mineral, sekarung
beras, bumbu dapur, banner, tripod, kardus dan banyak lagi perkakas masak
berserakan dimana-mana. Ya, karena semalam panitia Summer Holiday baru
saja mempersiapkan bekal untuk liburan musim panas di Sinai selama 3 hari.
Rencananya kami mengunjungi Uyun Musa, Pantai Taba, Puncak Sinai, tempat Nabi
Musa dan beberapa destinasi lainnya.
Membasuh
muka ketika berwudlu rasanya begitu menyegarkan, sambil berharap dosa yang diperbuat
mata ini mendapat ampunan. Kugelar sajadah menghadap Baitullah, berjamaah
dengan mantap mengayunkan tangan diiringi takbir, selalu begitu syahdu shalat
Subuh bagiku, walau kadang kantuk lihai menggoda.
***
Jam
dinding menunjukan pukul 07.30, saatnya membawa semua perbekalan ke bis.
Panitia dengan sigap berkemas dan men-checklist barang
bawaan. Tiga puluh menit kemudian rombongan bertolak dari Kairo menuju ke arah
timur Mesir , memulai petualangan besar menyusuri Laut Merah dan Sinai.
Perjalanan ke tempat Nabi Musa menerima wahyu ini menempuh 10 jam lebih.
Sepanjang
perjalanan dari jendela, bus kami disuguhi pemandangan gurun pasir yang
menghampar, pasirnya sehalus sutera begitu lembut terbawa angin dan warna
cokelat cerahnya menambah anggun, benar-benar kecantikan yang mematikan.
Sesekali mata menangkap pemandangan kota Satelit di tengah gurun, kota Satelit
merupakan kota-kota baru yang disebar di daerah gurun, pemerintah sengaja
menyulap daerah gurun menjadi daerah pemukiman yang modern nan hijau, program
ini terus digulirkan dalam rangka mencegah kepadatan penduduk, sehingga
penduduk tak hanya terpusat di Kairo saja, melainkan tersebar merata di seluruh
wilayah Mesir, seperti kota Tajammu', Nasr City, 6th Oktober, Heliopolis, Oubur City dan masih banyak lagi.
Sebenarnya
aku khawatir dengan liburan kali ini, menyusul keributan dan baku tembakdi beberapa kota di Mesir, Presiden mengumumkan kondisi darurat militer di 4 daerah mesir, Suez salah satu kota yang terkena operasi militer, dan celakanya kita harus melewati distrik tersebut untuk sampai ke Semenanjung Sinai, karena di distrik ini letak Kanal Suez berupa jalan di bawah laut yang memisahkan antara benua Afrika dan Asia. Terdengar kabar, bahwa ada bus pariwisata turis asing yang dibajak oleh orang Badui bersenjata ketika melewati gurun Sinai padahal sudah dikawal oleh tentara, hal ini membuatku bertambah takut.
Uyun Musa, Karunia Allah untuk Bani Israel |
Pesisir Kota Nuweiba |
Kota Taba yang berbatasan langsung dengan Israel |
Puncak Sinai, tempat Nabi Musa menerima Wahyu |
Menikmati Sunrise di puncak Sinai |
Berpose disela perjalanan turun dari Sinai |
Bus
rombongan tiba di pos pemeriksaan depan pintu masuk kanal Suez, terlihat banyak
tentara lengkap dengan senjata berjaga di luar, tak hanya itu jeep dan beberapa
tank perang sudah disiagakan. Pemandangan di luar seketika merubah atmosfir
dalam bis mencekam, ditambah 2 tentara naik ke atas bus, ketua rombongan
berusaha menenangkan kami, bahwa tentara hanya memeriksa surat jalan dan paspor
peserta. Aku langsung merogoh saku tas tempat paspor berada, namun tak ketemu,
kucoba rogoh di bagian lain lagi dan lagi hanya alpa yang kudapat, “Ya Allah,
celaka ana..! bisa diseret kalau ketahuan tak bawa paspor” kataku resah dalam
hati. Kebetulan aku duduk di kursi nomer 4 dari belakang, rombongan sudah siap
dengan paspor masing-masing di tangan siap diperiksa, sedangkan aku? Aku mulai
gaduh memburu dan mencoba mengingat kembali di mana buku hijau kecil bergambar
garuda itu disimpan, “Aduuuh.! Ternyata ketinggalan di laci kamar” sesalku
sembari menepuk jidat. Pikiranku mulai kemana-mana tak fokus, apalagi tentara
yang memeriksa beberapa kursi lagi sampai di kursiku, Aku sudah pasrah dan
bertawakal, namun degup jantung semakin kencang dan berdebar serasa mau lompat. Dimenit terakhir tentara
mendekati kursiku ketika hampir pingsan di tempat, ternyata pertolongan Allah
datang, entah mengapa atasan mereka memanggil untuk menyudahi pemeriksaan dan
akhirnya aku tak kena periksa, itu artinya selamat. ”Fuihhhh..!” Desahku
melepas nafas yang tegang dan mengusap keringat yang mengucur deras. "Alhamdulillah
Ya Allah, syukron katsiron atas pertolongannya” Ucap syukur terbebas dari
masalah.
Setelah
melewati terowongan yang terletak tepat di bawah selat Suez, berarti kami telah
berada di benua Asia, karena selat Suez merupakan pembatas antara benua Afrika
dan Asia.
Perjalanan
berlanjut ke Uyun Musa, mata air yang mengalir lewat tongkat Nabi Musa untuk Bani Israel. Saat rombongan
tiba di Uyun Musa, suasana amat sepi dan cenderung kurang terurus, terlihat
dari kondisi belasan lapak suvenir yang terbengkalai, hanya beberapa saja yang
masih digunakan. Setelah mendapatkan
pengarahan, kami dipersilahkan untuk menyebar dan mengabadikan momen,
pemadangan di sana berupa beberapa sumur yang di sekitarnya ditumbuhi banyak pohon
kurma dan membentuk sebuah oase, sisanya hanya berupa gurun pasir. Dari 12
sumur yang ada, saat ini hanya 6 sumur yang masih tersisa. Tempat ini mengingatkan,
betapa besarnya karunia yang Allah berikan kepada Bani Israel, saat mereka
berhasil lolos dari kejaran Firaun dan tentaranya, lalu tersesat di gurun dan
kehausan, Allah menganugerahkan mata air yang jernih dan sejuk, tak hanya satu
tapi 12 mata air. Tak cukup di situ, mereka juga diberi Manna dan
Salwa ketika lapar. Sebuah nikmat yang tak pernah diberikan
kepada kaum sebelumnya, kecuali kepada Bani Israel. Dengan karunia sebanyak itu, Bani Israel
bukannya bersyukur malah mereka kufur. Puas menjelajahi semua sudut,
petualangan berlanjut ke Taba, kota pesisir Laut Merah yang sangat Indah.
Selama
membelah gurun Sinai, dari jendela hanya terlihat hamparan gurun pasir,
sesekali kumpulan belukar dan kaktus kami temui. Serangan dari Badui yang kami takutkan tak
terjadi, perjalanan aman dan menyenangkan.
Sampai
di rest area di Nakhel, sebuah pangkalan militer, kami makan siang dan
jama’ Dzuhur dan Ashar. Ketika mendekati
Laut Merah, perhatian kami tercuri dengan tebing-tebing sebelah kanan dan kiri,
tak hanya takjub dengan ketinggiannya, tapi karena batuan tebing yang berwarna
merah, orange, coklat bahkan hitam begitu indah, deretannya terlihat angkuh
menemani kami hingga menemui Laut Merah. “Subhanallah” Suara tasbih memenuhi
bus kala melihat Red Sea yang terlihat orange kekuningan terkena
pantulan matahari sore, artinya kami sudah setengah perjalanan ke Sinai.
Sepanjang
pesisir Laut, rombongan melewati beberapa kota wisata, seperti kota Taba yang
memiliki pantai yang sangat jernih airnya serta berbatasan langsung dengan
Israel dan Nuweiba kota real estate yang dipenuhi dengan villa dan hotel
berbintang.
Bernyanyi
bersama di bus mengusir bosan, ternyata cukup menguras tenaga, tak berselang
lama kantuk segera menyergap tanpa ampun. Tak sadar, ternyata bus telah sampai
di pintu masuk taman Nasional Sinai. Rombongan sampai jam 8 malam dan turun di
depan Homestay untuk makan malam dan shalat jama’ Maghrib dan Isya. Untuk
mendaki ke puncak gunung wahyu tersebut membutuhkan 3-4 jam tergantung kondisi
tubuh pendaki, kami harus menaikinya tengah malam agar ketika sampai di puncak
bisa menyaksikan Sunrise, karena momen ini yang paling ditunggu para pendaki.
Jam
tangan menunjukkan pukul 12 malam, rombongan sudah berbaris rapi di pintu masuk
pendakian, walaupun musim panas udara sekitar terasa dingin. Semua proses
registrasi selesai, dengan diawali doa bersama kami mantap melangkahkan kaki
menaiki setapak demi setapak jalan yang pernah dilalui Musa. Walau jalan
terlihat gelap, selama pendakian mata sesekali menikmati panorama langit yang
kala itu sangat indah, bayangkan di hadapan mata bias melihat jutaan bintang
yang tersusun anggun membentuk sungai bintang yang membentang dari utara ke
selatan, malam yang mengesankan.
Perjalanan
kami ternyata tak semudah yang kami bayangkan, baru beberapa pos saja nafas
kami sudah tersengal-sengal, apalagi gunung yang kami daki mempunyai ketinggian
2.285 M dpl, benar-benar butuh tenaga dan kewaspadaan ekstra, apalagi jalan
setapak yang dilalui tak selalu mulus, melainkan terjal dan curam, kadang kami
juga disuguhi jalan sempit yang diiringi jurang dalam menganga di sampingnya.
Sampai
di pos terakhir sebelum puncak kami harus melewati ratusan tangga terjal,
melewatinya tak bisa bersombong diri dengan menolak beristirahat, kadang sampai
merebahkan badan di batu, begitu payah dan lelahnya pendakian. Pukul 03.45
pagi, sebagian rombongan tiba di puncak termasuk aku, di puncak ada sebuah
gereja dan mushala, karena Sunrise sebentar lagi aku segera menuju ke
mushala untuk menunaikan Subuh, karena tak ada air kami sepakat bertayammum.
Memasuki
mushala, ku dapati ada 2 orang Arab, yang satu tidur dan lainnya sedang membaca
dengan bantuan cahaya lilin. Kami dipersilahkan untuk shalat, dengan kaki yang
masih gemetar karena menaiki tangga yang tak terhitung. Dengan mantap,
kugaungkan takbir menutup duniaku khusyu’ untuk mengingat-Nya, selesai shalat
tak tahu mengapa rasanya ingin sujud, ketika wajah dan kepala benar-benar
setara dengan tanah, hati serasa jatuh mengingat masa lalu, seketika semua masa
laluku teringat dengan jelas, tanpa sadar air mata mengalir deras memohon ampun
atas semuanya, aku menangis sejadi-jadinya, aku baru merasakan betapa beratnya
perjuangan Rasulullah SAW, padahal yang kurasakan hanyalah beratnya mendaki
sebuah gunung, itupun untuk berlibur, sedangkan para Nabi-Nya untuk mendapatkan
wahyu mereka harus bersusah payah, disiksa, dicemooh, melewati gurun yang panas
dan bahkan sampai ancaman pembunuhan. “Ya Allah, Ampunilah hambaMu yang nista
ini, kemana lagi hamba meminta ampunan selain kepada-Mu, jika nanti aku tak
dapat ampunan, maka berikanlah rahmat dan Ridho-Mu” Pintaku dalam munajat, tak
lupa ku doakan kedua orang tua dan nenekku yang sedang tergolek lemas ditemani
strok dan diabetes. Inilah pengalaman spiritualku, dimana Allah serasa dekat
denganku, seakan aku menemukan "Tuhan", hati begitu lega dan damai.
Selesai
berdzikir, aku langsung menuju ke tempat Nabi Musa menerima wahyu untuk Bani
Israel, di sana tak lupa bershalawat dan berdoa untuk Nabi Musa. AS. Aku jadi
paham, apabila Musa sangat marah dan Allah mengutuk Bani Israel, bagaimana
tidak? Ketika Musa baru turun dari puncak Sinai membawa wahyu untuk Bani
Israel, ternyata mereka malah menyembah berhala berupa patung anak sapi emas
(patung Samiri), sehingga tanah yang dijanjikan (Palestina) berpindah ke tangan
orang yang beriman.
Tak
kusangka liburan kali ini menjadi pengalaman spiritual yang tak terlupakan,
serta menjadi batu loncatan untuk hari esok yang lebih baik. Momen yang kami
tunggupun tiba, Sunrise muncul membuka keindahan pegunungan Sinai yang sejak
tadi dikuasai gelap. Sinai mentari yang kuning keemasan berpadu dengan bebatuan
gunung, terlihat sangat mempesona. Subhanallah.
Nice Story
BalasHapusSinai memang kadang memberikan kenangan yg tak terlupakan, terutama pengalaman spiritual ttg sejarah perjuangan nabi Musa dlm menerima wahyu. Berjuang mati2an ke puncak Sinai yg waktu itu masih sangat terjal dan menerima wahyu dari Allah yg merupakan beban yg sangat berat.
Kemudian, kita bisa memaklumi kemarahannabi Musa kepada kaumnya yg pada saat beliau kembali malah menyembah patung samiri
kalo boleh berpendapat, Sinai merupakan tempat yg cocok untuk wisata alam dan religi serta tempat uji ketahanan, terutama di 750 anak tangga sebelum puncak, hehehe...
Terima kasih atas kunjungannya :)
HapusWalau sudah 3 kali ke sana, tak bosan rasanya untuk selalu ke sana, banyak menemukan pengalamna dan inspirasi baru. itulah salah satu tempat pilihan tuhan, selalu membawa kedamaian.
Salam kenal Kang :)
seperti ak yg ada disana :) subhanallah. mungkin blog kita punya genre agak berbeda. ak genrenya komedi. tp mungkin bisa singgah :) http://kocakkacau.blogspot.com/2013/08/salahkan-jakunku-yang-kesasar-di-telinga.html?showComment=1376272341053#c5884362123354345969
BalasHapusNice artikel (y)
BalasHapusDitunggu kunjungan baliknya di >> http://dun-soft.blogspot.com
Ditunggu juga komentar komentarnya ;)
Wow mantap! Semoga nanti aku bisa kesana juga secepatnya. Thank you for sharing! Safe travels ;)
BalasHapus- @iamMariza -
saya tunggu kedatanganya Kak Mariza, saya siap jadi guidenya :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussayu hati sy membaca pos ini ust miftah,,terasa ingin ke mesir lgi..tp ntah bila lagi dapat ke sana.. :(
BalasHapusSaya doakan Ustadazah da rezeki dan kesempatan tuk kunjungi Mesir lagi. Jangan risau bila tas sempat, saya akan senang hati berbagi cerita petualangan saya di Ardul Anbiya. Keep Writing :)
HapusTulisannya begitu lincah mengalir dlm semua deskripsi bayangku melihat penulis menjelajahi sinai. Sungguh nikmat-sepertinya- bisa "berkhalwat" dgn Tuhan dalam ketakjuban ciptaanNya. Semoga suatu hari saya bisa melintasi jejak yg pernah dilalui Musa, entah kapan waktunya.
BalasHapus